SEPEKAN ini di media sosial, khususnya pada perpesanan WhatsApp berdar kabar mengenai dugaan korupsi di lingkungan Sekretaris Daerah Kabupaten Indramayu. Kabar itu pun membanjiri perangkat handphone penulis.
Teman-teman memang mengirimkan berita itu, baik dalam bentuk link berita online maupun yang sudah dalam bentuk narasi. Teman-teman seolah ingin berbagi kabar tersebut, yang dalam konteks jurnalistik memang sangat menarik dan berpotensi menaikan trafik.
Yang menarik penyebaran kabar itu ada juga yang ditambahi dengan narasi yang seolah-olah menggugat penulis, karena tidak turut memberitakan. “Beritanya bagus, Kang. Koq mhnews.id tidak memberitakan,” kata salah seorang teman pengirim link berita tentang korupsi tersebut.
“Sudah nyaman dengan pemberitaan puja-puji, ya Mas? Jadi berita yang membuat orang serta institusinya panas-dingin diabaikan,” tutur teman lainnya dengan nada sarkas.
Penulis memang tidak tertarik untuk memberitakan mengenai dugaan korupsi walau sangat menarik. Alasan utamanya karena penulis memahami betul, bahwa para pejabat di lingkungan pemerintahan memiliki potensi untuk melakukan korupsi.
Kalau pun akhirnya menulis tujuannya semata-mata untuk mengingatkan, bukan mau membuka aib. Islam mengajarkan kepada kita untuk selalu saling mengingatkan dalam kebaikan dan menutupi aib sesama.
Mengenai dugaan korupsi di lingkungan Sekretariat Daerah sebenarnya hal ini merupakan sebuah fenomena gunung es. Sebab korupsi itu bisa terjadi di instansi mana pun. Para pejabat patut diduga sangat sukar untuk tidak korupsi karena ‘tuntutan’ sosial.
Selain itu, para pejabat juga patut diduga sukar untuk tidak korupsi karena biaya ‘entertainment’ sangatlah mahal, baik untuk kepentingan lembaga, institusi yang dipimpinnya, termasuk –dan bisa jadi yang paling utama– kepentingan dirinya sebagai investasi jang ka imah (untuk dibawa ke rumah).
Biaya ‘entertainment’ ini misalnya, koordinasi luar institusi, tamu, termasuk dalam momen-momen tertentu harus mengeluarkan biaya ‘arca’ yang sudah terkondisikan.
Contoh adanya biaya ‘entertainment’ ini yang paling nyata adalah sebagaimana kasus yang menimpa Bupati Kabupaten Bogor, Ade Yasin. Ia terjerat operasi tangkap tangan (OTT) karena menghimpun dana yang diakuinya untuk kepentingan ‘menjinakan’ oknum BPK.
Biaya ‘entertainment’ ini jelas tidak pernah teranggarkan secara resmi dalam APBD, DPA, dan RKA, tetapi nominal uangnya harus ada. Pertanyaannya, bagaimana cara memenuhi atau membayar biaya ‘entertainment’ itu? Mungkinkah dari uang gaji, tunjangan, atau uang hasil usaha pribadi dan warisan?
Korupsi adalah satu kata untuk menjawab pertanyaan itu. Ya, dengan cara korupsi. Adapun modusnya, para pelaku sudah pandai dan sangat piawai. Saking piawainya mereka akan lolos dari pemeriksaan internal (inspektorat) maupun eksternal (BPK dan aparat penegak hukum).
Alhasil prilaku korup mereka pun tertutup rapat dan senyap. Karena hal ini pula mereka makin berani dan menjadi-jadi untuk korupsi.
Walau pun demikian, tidak ada kejahatan yang sempurna, kalau tidak hari ini, esok, lusa akan terungkap. Bahkan kalau pun di dunia ini luput juga, maka di akhirat pasti tidak lagi bisa bersembunyi.
Sejatinya pejabat (manusia) tidak ada yang suci dari kesalahan (korupsi). Kalaulah saat ini berada pada posisi itu tinggal memilih: berhenti dan memperbaiki diri atau terus menikmati.
Tidaklah mudah memang untuk berhenti. Namun daripada nanti Alloh Azza wa jalla yang membukakan aib, maka siapa yang bisa menutupinya? Karenanya, berhentilah korupsi saat ini juga sebelum Alloh Azza wa jalla membukanya. (wawan idris)