Oleh H. Adlan Daie
Pemerhati politik dan sosial keagamaan
Tindakan oknum Satpol PP Indramayu yang diduga melakukan intimidasi dan ancaman kepada Masdi, Koordinator Umum unjuk rasa Forum Peduli Indramayu (FPI) sebagaimana dimuat media online “jabar daily post” (20/9/2022) jika benar (sekali lagi jika benar) tentu merupakan tindakan “politik primitif”.
Bahkan dalam teori sosial Daniel Dakidie dalam bukunya “Menerjang Badai Kekuasaan” (2005) politik intimidatif bisa berbalik arah menjadi pemantik gelombang aksi demonstrasi yang makin massif. Sejarah politik di Indonesia acapkali membuktikannya.
Unjuk rasa selanjutnya (selasa 20/9/2022) Aliansi Rakyat Indramayu (ARI) dan Aliansi Pelajar Menggugat (APM) mengaffirmasi teori sosial di atas. Unjuk rasa makin keras dengan tuntutan hiperbolik “Pulangkan Nina ke Jakarta“.
Artinya, eskalasi unjuk rasa akhir-akhir ini harus dimaknai respon kegelisahan publik terhadap sengkarut politik Indramayu atas tontonan vulgar disharmoni bupati dan wakil bupati, interpelasi ‘basa basi”, tantangan debat wakil bupati, dan lain-lain yang tidak relevan dengan hajat hidup rakyat.