Namun terlepas dari persoalan ekspose Media Intijaya dan spekulasi politik liar turunannya di atas, dari sudut pandang konstitusi, kedudukan bupati dan DPRD sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah adalah ideal dalam prinsip-prinsip sistem demokrasi modern.
Jika yang menjadi penyebab disharmoni itu salah satunya adalah kegagalan pengesahan APBD, maka sejatinya dalam konteks ini relasi keduanya bersifat setara dan berkemitraan. Jadi kedua lembaga ini bisa saling cheks and balance –sehingga seharusnya tidak ada yang merasa terjegal dan menjegal.
Posisi kelembagaan yang bersifat setara dan kemitraan di atas dimaksudkan saling cheks and balance antara bupati dan DPRD dalam perspektif uji kualitas dan kelayakan pilihan desain kebijakan dan program dengan parameter indikatif tentang rasionalitas dan urgensi program, besaran anggaran dan dampak benefitnya bagi kepentingan maslahat publik.
Sayangnya dalam temuan penelitian Edward Asniall tentang praktek demokrasi di Indonesia yang dikompilasi dalam buku Demokrasi Untuk Dijual, relasi setara eksekutif dan legislatir seringkali melahirkan dua praktek “tak terpuji” dalam konteks politik anggaran, yakni “perselingkuhan” politik untuk “deal-deal” pragmatis atau sebaliknya “saling sandra” sehingga pengesahan APBD gagal.