Dari total luas 28 hektar ini, mayoritas merupakan lahan milik pesantren, dan sebagian merupakan lahan milik wali santri.
Diceritakan Supandi, pada awal mula perintisan tambak garam ini cukup banyak mengalami kesulitan. Bahkan, garam yang dihasilkan pada saat itu adalah jenis garam KW 3 yang memiliki nilai jual rendah yaitu sekitar Rp 400,00/kg.
Oleh karena itu, Pesantren bersama masyarakat pengelola tambak ini beberapa kali harus melakukan riset hingga menemukan cara yang tepat.
“Kami menemukan cara yang tepat yakni dengan menggunakan plastik Geomembrane untuk proses pengendapan garam. Cara tersebut berhasil menghasilkan garam kualitas baik dan memiliki nilai jual Rp 3.500,00/kg,” ujar Supandi.
Penulis : Rohman
Editor : Wawan Idris