30.7 C
Indramayu
Senin, Oktober 7, 2024


Mempertahankan atau Melepas 20 Persen Anggaran Pendidikan?

Oleh Dr. Supriyanto Dj. Manguntaruno
E-mail: hujandikm97@gmail.com

APAKAH Anda setuju ketentuan 20% Anggaran Pendidikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN) dipermasalahkan? Dihilangkan? Dikurangi? Atau diubah aturan/skema perhitungannya?

- Advertisement -

Bagi mereka yang dalam kesehariannya jauh dari dunia pendidikan, mungkin itu biasa saja, tidak mengusik hati dan pikirannya.

Namun, bagi mereka yang setiap harinya berada (fisik, jiwa, dan pikirannya) di dalam dunia pendidikan di Indonesia, jelas upaya mengotak-atik anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN akan merupakan persoalan serius, mungkin malah emosional sekaligus sangat rasional.

Apa yang terjadi di media publik akhir-akhir ini memang baru merupakan wacana. Lebih detailnya, DPR dan Pemerintah baru-baru ini mewacanakan akan meninjau ulang kewajiban menyediakan anggaran pendidikan minimal 20% dalam APBN sesuai amanat konstitusi.

Menurut kabar, wacana ini tiba-tiba mencuat dalam rapat kerja pembahasan Rancangan APBN (RAPBN) 2025 antara pemerintah dan Badan Anggaran (Banggar) DPR di Jakarta.

Dalam rapat yang dilaksanakan Rabu 4 September 2024 itu, dikabarkan bahwa Menteri Keuangan meminta DPR mengubah patokan alokasi 20% anggaran pendidikan dari belanja negara ke pendapatan negara (HU Kompas, Sabtu 7 September 2024, halaman 5).

Memang, usulan itu baru wacana. Namun, meskipun baru wacana, keinginan untuk mengubah besaran dana pendidikan yang selama ini mengacu pada belanja negara menjadi mengacu kepada pendapatan, hal ini tidak bisa dianggap sepele atau urusan kecil.

Ini bisa menjadi persoalan serius menyangkut nasib anak-anak bangsa ke depannya. Jika wacana ini berubah menjadi realitas, maka ini menjadi salah satu indikator tragedi.

Tragedi? Ya, sebab serangkaian akibatnya akan terasa menyakitkan bagi anak-anak bangsa yang sedang besar-besarnya membutuhkan dana pendidikan.

Rasional ini gampang terbaca sebab keinginan mengubah acuan perhitungan akan berdampak langsung kepada menjadi lebih kecilnya nilai anggaran pendidikan dalam APBN. Contohnya, anggaran pendidikan dalam RAPBN 2025 dialokasikan sebesar Rp 722,6 triliun (ini merupakan 20% dari total belanja Rp 3.613,06 triliun).

Angka ini akan berubah menjadi Rp 599,3 triliun jika penetapannya mengacu kepada pendapatan APBN.

Kabar itu, meskipun baru wacana, jelas langsung menyakitkan bagi mereka yang dalam kesehariannya hidup di lingkungan dunia pendidikan.

Membunuh Masa Depan Bangsa

Hal yang pertama harus diingat adalah bahwa rakyat, dalam hal ini orang tua murid, terlanjur menyukai dan nyaman dengan gratisnya biaya pendidikan untuk jenjang pendidikan dasar, dan menengah.

Pengurangan 20% dana pendidikan sama artinya dengan mengusik kenyamanan. Implikasinya, bisa diduga, rakyat yang selama ini terlanjur nyaman dengan bantuan dana pendidikan akan melakukan unjuk rasa sebagai reaksi karena akan banyak peserta didik yang terdampak.

Secara manajemen biaya, akan sulit mengubah kebiasaan gratis menjadi harus membayar. Gratis dalam arti ada subsidi dari pemerintah untuk anak-anak bangsa membiaya kebutuhan pendidikannya.

Membayar dalam arti tidak ada lagi subsidi yang diberikan pemerintah, sehingga semua keperluan biaya pendidikan menjadi tanggung jawab orang tua/wali siswa. Mengubah kondisi nyaman menjadi tidak nyaman akan menuai banyak resiko. Seperti apa saja resikonya sangat mudah diprediksi.

Hal kedua yang harus diingat, akan terjadinya penurunan kualitas layanan pendidikan khususnya dari segi sarana dan prasarana serta biaya perawatannya.

Kebutuhan penyediaan sarana dan prasarana untuk layanan pendidikan masih besar, dan selama ini sangat bergantung pada dana dari pemerintah. Jika ini berhenti, maka akan terhenti pula pengembangan sarana dan prasarana untuk layanan pendidikan.

Akan menurun juga, mungkin angka biaya operasional sekolah/madrasah. Penurunan dari sisi ini akan berdampak kepada kualitas hasil belajar dan (mungkin) penurunan kualitas karakter lulusan, serta penurunan mutu iklim lingkungan belajar.

Hal keempat, jika dengan skema perhitungan yang saat ini berlaku saja, ternyata di negeri ini masih banyak anak bangsa yang tidak bisa sekolah karena ketiadaan atau kekurangan biaya, maka jika skema perhitungan dana pendidikan diubah, akan semakin banyak pula anak bangsa yang tidak bisa bersekolah.

Itu prediksi yang akan terjadi di jenjang pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Sementara itu di jenjang pendidikan tinggi, belum hilang dari ingatan kita bagaimana demonstrasi mahasiswa menentang kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT).

Demo itu menunjukkan bahwa nilai biaya UKT berada dalam kategori sudah mahal. Jika skema perhitungan diubah, diduga akan semakin mahal lagi UKT-nya, sebab subsidi dari Pemerintah untuk layanan pendidikan tinggi pun akan berkurang.

Hal kelima yang menjadi bahan pemikiran lagi, angka anggaran pendidikan yang menurun akan berdampak pada penurunan daya tampung lembaga pendidikan terhadap angka masukan peserta didik baru.

Diakui atau tidak, angka jumlah peserta didik ini berdampak pada kesejahteraan pendidik (guru atau dosen). Dengan tingkat kesejahteraan yang menurun sangat tidak adil dan tidak pantas jika masih berharap kualitas layanan pembelajaran oleh guru dan dosen tetap hebat dan menginspirasi para peserta didiknya.

Kemudian, meskipun bukan yang terakhir, ujung-ujungnya prestasi mutu pendidikan dan mutu lulusan pendidikan akan menurun.

Ini hal ironis, di balik keinginan untuk meningkatkan prestasi pendidikan di kancah internasional, justru modal-nya dikurangi. Jelas bisa diduga penurunan prestasilah yang akan diperoleh.

Dampaknya di masa depan nanti, kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia pun akan menurun. Ini lantas akan berdampak pada penurunan daya saing anak-anak bangsa dalam persaingan internasional.

Ketika daya saing menjadi menurun, maka kita akan (semoga tidak) kembali bergantung kepada asing dan sama artinya dengan mengalami penjajahan baru.

Atau, memang di balik itu semua ada rencana tersembunyi dari pihak tertentu yang menghendaki anak-anak bangsa tidak mengalami kemajuan?***

*Penulis adalah salah seorang Pegawai di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Indramayu, alumni Program Doktor (S3) Pascasarjana Universitas Negeri Semarang, Indonesia, Asia Tenggara.

 

Artikel Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terpopuler