SIFAT dasar manusia itu cenderung pada kesenangan duniawi, berupa harta, wanita, jabatan, dan kekuasaan. Itulah sebabnya banyak manusia mau melakukan apa pun, menghalalkan segala cara demi meraih keinginannya itu.
“Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap yang diinginkan, berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Alloh-lah tempat kembali yang baik,” (Ali ‘Imran:14).
Saat Alloh Azza wa jalla memberikan kesenangan banyak manusia yang kufur nikmat dan hanya sebagian kecil yang selalu bersyukur. Dalam Qur’an, Alloh Azza wa jalla mengisahkan dua orang manusia yang sama-sama diberi limpahan kesenangan duniawi.
Kepada keduanya diberikan harta yang sangat berlimpah dan juga kekuasaan tak terbatas. Harta keduanya, meskipun pada zaman berbeda—sampai-sampai kunci-kuncinya saja harus dipikul orang-orang yang sangat kuat. Namun penyikapan terhadap kenikmatan duniawi keduanya itu sangat berbeda.
Kedua orang tersebut adalah Qarun dan Nabi Sulaiman. Qarun yang tidak lain adalah kaumnya Nabi Musa Alaihissalaam. Qarun adalah sosok orang kaya di negeri Firaun. Ia juga termasuk orang dekat Penguasa Zalim itu.
“Sesungguhnya Qarun termasuk kaum Musa, tetapi dia berlaku zalim terhadap mereka dan Kami telah menganugerahkan kepadanya perbendaharaan harta yang kunci-kuncinya sungguh berat dipikul oleh sejumlah orang yang kuat-kuat. (Ingatlah) ketika kaumnya berkata kepadanya, “Janganlah engkau terlalu bangga. Sungguh Allah tidak menyukai orang yang membanggakan diri,” (Al-Qasas:76).
Tak dapat dibayangkan oleh kita, seberapa banyak harta kekayaan Qarun jika kunci-kuncinya saja sangat berat dipikul orang-orang kuat. Namun sayangnya karena kekayaannya, Qarun sangatlah sombong dan senantiasa berbuat kerusakan di muka bumi.
Kesombongannya itu bahkan melampaui batas sampai-sampai dia mengingkari kalau harta kekayaannya itu semata-mata merupakan karunia dari Alloh Azza wa jalla. Qarun menganggap kekayaannya itu hasil kerja keras dan karena kepandaiannya sendiri.
“Dia (Qarun) berkata, “Sesungguhnya aku diberi (harta itu), semata-mata karena ilmu yang ada padaku…,” (Al-Qasas: 78).
Karena kesombongannya itulah maka Alloh Azza wa jalla mengazab Qarun dengan cara membenamkannya ke dalam bumi. “Maka Kami benamkan dia (Qarun) bersama rumahnya ke dalam bumi. Maka tidak ada baginya satu golongan pun yang menolongnya selain Allah, dan dia tidak termasuk orang-orang yang dapat membela diri,” (Al-Qasas: 81).
Berbeda dengan Qarun, Nabi Sulaiman Alaihissalaam mensyukuri semua karunia yang diberikan Allah Azza wa jalla kepadanya. Dengan kekayaan dan kekuasaannya yang tak terbatas itu ia bahkan sangat rendah hati dan jauh dari sifat sombong.
Selain diberikan harta kekayaan yang berlimpah Nabi Sulaiman juga dikaruniai kemampuan mengerti sekaligus dapat berbicara dengan bahasa makhluk hidup lainnya. Ia juga berkuasa penuh atas jin maupun setan.
Atas segala karunia yang dilimpahkan kepadanya itu, Nabi Sulaiman sangatlah bersyukur. Seperti saat ia mendengar seekor semut yang berkata kepada teman-temannya agar segera masuk ke sarang supaya tidak terinjak Nabi Sulaiman dan pasukannya, ia pun mengucapkan syukur.
“Maka dia (Sulaiman) tersenyum lalu tertawa karena (mendengar) perkataan semut itu. Dan dia berdoa, “Ya Tuhanku, anugerahkanlah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku dan agar aku mengerjakan kebajikan yang Engkau ridai; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh,” (An-Naml: 19).
Demikian pula saat singgasana Balqis dapat dipindahkan dari Negeri Saba ke negerinya dalam sekejap, Sulaiman sama sekali tidak sombong dan takabur. Ia tetap bersyukur dan menunjukkan sikap rendah hati.
“… Maka Ketika dia (Sulaiman) melihat singgasana itu terletak di hadapannya, dia pun berkata, “Ini termasuk karunia Tuhanku untuk mengujiku, apakah aku bersyukur atau mengingkari (nikmat-Nya). Barang siapa bersyukur, maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barang siapa ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya, Maha Mulia,” (An-Naml: 40).
Maka sebaik-baik saat Alloh Azza wa jalla melimpahkan kepada kita kesenangan duniawi adalah bersyukur. “… Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat,” (Ibrahim: 7). (wawan idris)