Dalam teori demokrasi modern rakyat memilih bukan sekedar “mencoblos” tetapi menitipkan nasib masa depannya kepada pejabat publik yang dipilihnya. Pejabat publik (bupati, wakil bupati, dan DPR/DPRD) dipilih untuk menjadi “atap” pelindung rakyat dari terik “sengsara” matahari dan hujan “derita” air mata.
Pejabat publik bukan ibarat pemanjat pohon pinang dimana pundak rakyat hanya sekedar tangga injakan untuk merebut “kursi” di atas pohon pinang. Rakyat bukan ibarat tebu diambil manisnya dibuang sepahnya.
Karena itu unjuk rasa sebagai mekanisme kontrol yang sah dan legal dalam sistem demokrasi tidak perlu dihadapi dengan cara intimidatif melainkan dikelola dengan pendekatan kepemimpinan politik partisipatif bukan dengan kekuasaan represif.
Rakyat “butuh pemimpin bukan penguasa“, ini adalah janji yang dulu didendangkan, maka hadapilah demonstrasi secara “gentlemen” atau dalam falsafah politik Jawa “Ojo tinggal glanggang colong playu“, jangan menghindar dan lari dari tanggung jawab politik tuntutan publik.