Oleh Dr. Supriyanto Dj. Manguntaruno
(E-mail: hujandikm97@gmail.com)
MISALKAN Anda adalah pemilik sekolah/madrasah swasta. Apakah Anda setuju jika hasil dari program PISA (Programme for International Student Assesment) atau TIMMS (Trends in International Mathematics and Science Study) dijadikan semacam ukuran untuk menentukan apakah program dan sekian banyak kegiatan kurikulum di sekolah/madrasah yang Anda laksanakan dinilai berhasil atau gagal?
Mungkin Anda setuju jika sekolah/madrasah Anda merupakan sampel kegiatan tersebut, dimana para peserta didik dari sekolah Anda akan diuji kemampuan literasi dan numerasinya oleh Tim PISA dan Tim TIMMS.
Alasan setuju pun tentu dengan dalih bahwa para peserta didik di sekolah/madrasah Anda sudah memberikan perlakuan/kegiatan yang sama dan serupa seperti dilakukan oleh negara-negara lain yang menjadi peserta program PISA/TIMMS.
Jika perlakuan/kegiatan berbeda, tentu tes yang dilakukan hasilnya akan berbeda, dan prestasi yang ada (sebagai hasilnya) hanya layak untuk digunakan menilai atau membedakan manakah program/kegiatan/perlakuan apa yang paling baik dan mana yang tidak baik.
Namun, tentu Anda tidak akan setuju jika landasan berpikirnya berangkat dari keinginan diperlakukan adil atau setidaknya diperlakukan sama sebagai pelaksana kebijakan pemerintah (jika sekolah Anda berstatus Negeri) atau kebijakan Yayasan (jika sekolah Anda berstatus Perguruan Swasta). Maksudnya?
Dalam sebuah percobaan atau eksperimen yang bertujuan membandingkan apakah suatu perlakuan atau kegiatan lebih baik atau lebih buruk dibandingkan perlakuan lainnya, maka alat uji atau alat ukur perbedaan itu harus sama.
Namun jika percobaan itu hendak mengukur perbedaan prestasi atau hasil belajar yang diraih peserta didik (katakanlah dengan usia yang sama), maka perlakuan atau kegiatan yang diberikan kepada peserta didik haruslah merupakan perlakuan yang sama.
Hasilnya ada dua kemungkinan: ada perbedaan prestasi atau tidak ada perbedaan prestasi alias prestasinya sama. Jika ada perbedaan prestasi maka peserta yang prestasinya lebih kecil, bisa dinilai gagal atau lebih buruk, dan di lain pihak bagi peserta yang prestasinya lebih baik bisa dinilai berhasil atau lebih baik prestasinya.
Implikasinya, janganlah menilai gagal perlakuan atau kegiatannya, sebab tidak sedang menguji apakah sebuah kegiatan atau perlakuan itu gagal atau berhasil.
Jadi, ketika kita mempertimbangkan apakah berbagai kegiatan literasi dan numerasi yang dilaksanakan oleh sekolah-sekolah/madrasah di Indonesia sebagai “telah gagal” atau “telah berhasil”, maka indikator untuk menilainya janganlah dilihat dari prestasi anak Indonesia di peringkat PISA atau TIMMS.
Jika mau adil, dan tampaknya lebih tepat, untuk mengukur atau menguji apakah sebuah kegiatan literasi atau kegiatan numerasi berhasil atau gagal, ya diukurlah menggunakan indikator manajemen atau standar pengelolaan sebuah program/kegiatan.
Misalnya, apakah personal yang dipilih untuk melaksanakan kegiatan sudah sesuai perencanaan? Apakah dana yang digunakan efektif? Bagaimana pertanggungjawaban pengelolaan dana telah dilakukan? Apakah pelaksanaan, pelaporan, dan evaluasinya sesuai ketentuan?
Dan sederet pertanyaan lainnya yang lingkupnya ada pada ranah manajemen masih bisa diajukan dengan fokus untuk mengukur berhasil atau tidaknya perencanaan-pelaksanaan-pelaporan-dan evaluasi kagiatan.
Berarti, jika peringkat anak-anak Indonesia dalam ranking PISA dan TIMMS masih “menyedihkan” maka janganlah memvonis bahwa selama ini pelaksanaan kegiatan literasi dan numerasi yang dilaksanakan mulai dari tingkat nasional hingga kegiatan di sekolah-sekolah/madrasah dinilai sebagai kegiatan yang gagal.
Sebab sebagai sebuah program/kegiatan, mungkin sudah dilaksanakan sesuai perencanaan. Di negara lain yang menjadi peserta PISA dan TIMMS mungkin program/kegiatannya berbeda, dan berhasil atau gagal kegiatan tersebut ukurannya hanya mereka (sebagai perencana dan pelaksananya) yang tahu.
Rasanya itu (mungkin juga tak terasa) baru adil. Namun, jika pelaksanaan kegiatan literasi dan numerasi baik di tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota maupun di tingkat sekolah/madrasah ternyata diperhadapkan dengan fakta berbagai temuan manajemen dan hasil audit keuangan yang dipertanyakan bahkan dinilai amburadul (disclaimer), maka layaklah jika kegiatan literasi dan numerasi tersebut dinyatakan gagal.
Pertanggungjawabannya: bisa administratif, perdata, bahkan mungkin bisa juga pidana. Prestasi para siswanya ketika diukur menggunakan instrumen PISA dan atau TIMMS, menjadi data yang harus dipertimbangkan atau digunakan untuk memutuskan urusan yang lain.
Masihkah Menjual Rendahnya Peringkat PISA dan TIMMS?
Tulisan ini merupakan salah satu catatan dari kegiatan “Pendampingan Penguatan Literasi dan Numerasi dalam Pembelajaran dan Asesmen Jejang SMP Region Jakarta 1” yang penulis ikuti selama 30 September s.d. 2 Oktober 2024 bertempat di Hotel Menara Peninsula Jakarta.
Kegiatan tersebut diikuti oleh para perwakilan pengawas sekolah dan para perwakilan guru (aktivis/pelaksana MGMP) dari Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Sumatera Utara.
Ide tulisan ini mengemuka ketika penyaji materi memaparkan salah satu hal yang dibahas yaitu tentang “Pemulihan Pembelajaran melalui Penguatan Literasi dan Numerasi”.
Seperti yang diduga sebelumnya (dalam hati sih), pihak Kemdikbudristek — dalam hal ini Dirjen PAUD, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah — sebagai penyelenggara kegiatan ini, masih menjual alasan rendahnya peringkat PISA anak-anak Indonesia dalam “membeli” program penguatan literasi dan numerasinya.
Pada slide ke-5 (kelima), peringkat hasil seleksi PISA tahun 2022 dari anak-anak Indonesia yang dijadikan sampel, kembali “dijual”. Sebagaimana diketahui, kegiatan PISA dilaksanakan setiap 3 tahun sekali, terakhir pada 2021 yang hasilnya diumumkan pada 2022.
Katanya, bahwa hasil PISA untuk kemampuan literasi membaca anak-anak Indonesia menunjukkan penurunan hasil belajar secara internasional akibat pandemi. Deskripsi baiknya, meskipun berada di kelompok bawah, peringkat Indonesia di PISA naik 5 sampai 6 posisi dibanding 2018.
Untuk bidang kemampuan matematika juga menunjukkan peningkatan dari tahun 2018 ke tahun 2022. Bagaimana dengan peringkat TIMMS?
Tidak dikutip pada paparan tersebut, namun tetap di-posting pada laman Pusat Asesmen Pendidikan yang di-admin-i oleh Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Kemdikbudrisrek. Lantas, salahnya di mana? Tidak ada yang salah sih.
Dalam paparannya, tidak hanya peringkat PISA yang diajukan sebagai latar belakang program pemulihan pembelajaran melalui penguatan literasi dan numerasi. Hasil Asesmen Nasional Tahun 2022 pun (yang produknya berupa Rapor Pendidikan Tahun 2023) termasuk yang “dijual”.
Deskripsinya memang masih tidak enak didengar dan dibaca. Kemampuan Literasi Murid berdasarkan hasil Asesmen Nasional Tahun 2022 pada jenjang SD/MI/sederajat menunjukkan bahwa terdapat 61,53% murid memiliki kompetensi literasi di atas kompetensi minimum.
Itu berarti ada kenaikan 8,11 dari angka 53,42% pada tahun 2021. Untuk jenjang SMP/MTs/Sederajat kenaikannya mencapai 7,63 (naik dari 51,37% menjadi 59,00%.
Penurunan capaian kemampuan literasi justru terjadi di jenjang SMA/SMK/MA/Sederajat yang turun 4,59 (tahun lalu 53,85% murid memiliki kompetensi literasi di atas minimum, tahun ini turun menjadi 49,26%.
Bagaimana dengan kemampuan numerasi? Kabar baiknya, untuk semua jenjang kemampuan numerasi mengalami peningkatan. Jadi, tak ada masalah.
Masalah justru ada pada pencapaian kemampuan literasi. Ini yang harus segera dipulihkan melalui pembelajaran yang lebih terencana dan disertai inovasi baru. Jadi, sebagai bagian dari proses pendidikan anak-anak Indonesia, sebaiknya kita bersikap positif.
Apapun alasannya, pemulihan pembelajaran melalui penguatan literasi dan numerasi, memang harus dilakukan.
Kadar kemempuan literasi dan numerasi yang membanggakan dan membahagiakan semua pihak dalam negeri yang mendengar dan melihatnya, akan membuat suasana hati lebih nyaman dalam menyambut datangnya era 100 tahun Indonesia Merdeka di tahun 2045 nanti.
Maka, bergeraklah untuk kemampuan literasi dan numerasi anak-anak bangsa Indonesia yang jauh lebih baik lagi. Jangan terlalu hirau dengan PISA dan TIMMS. *** (bersambung)
*Penulis adalah salah seorang Pengamat Pendidikan di Indonesia, alumni Program Doktor (S3) Pascasarjana Universitas Negeri Semarang, Indonesia, Asia Tenggara.