ALHAMDULILLAHI ROBBIL ‘ALAMIN. Allahumma sholli ‘ala Muhammad, wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam. Al Hasan al Bashri rahimahullah berkata, “Tawâdhu’ adalah kamu keluar rumah dan tidak berjumpa Muslim kecuali kamu menganggapnya lebih baik darimu.”
Tawâdhu’ merupakan kebalikan dari sifat sombong. Jika sombong telah mengakibatkan setan diusir dari surga dan menjadi makhluk terlaknat, maka tawâdhu’ berhasil menjadikan Adam dan Istrinya sebagai manusia yang diampuni setelah keduanya melakukan dosa.
Satu di antara banyaknya indikator sifat tawâdhu’ seseorang adalah kemauan untuk mengakui kesalahan dirinya. Jika ia seorang suami, satu di antara banyaknya tanda sifat tawâdhu’nya adalah kerelaannya untuk membantu tugas rumah seorang istri.
Sebagaimana diceritakan oleh ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam terbiasa membantu pekerjaan rumah istrinya saat Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam di rumah dan keluar rumah ketika tiba waktunya shalat.
Fudhail bin Iyadh rahimahullah tentang tawâdhu’ memaknai tawadhu sebagai tunduk dan patuh pada kebenaran. Menerima kebenaran dari siapapun yang menyampaikannya, walaupun dari anak kecil. Dan seandainya menerima dari orang yang paling bodohpun dia menerimanya! [6].
Sedangkan Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan hakikat tawâdhu’ dan memberikan penjelasan perbedaannya dengan menghinakan diri (al-Muhânah) dengan menyatakan, tawâdhu’ muncul dari ilmu pengetahuan tentang Allâh Azza wa Jalla.
Lalu mengenal nama dan sifat-Nya, pengagungan, kecintaan dan penghormatannya dan dari pengetahuan tentang dirinya dan jiwanya secara rinci serta aib-aib amalan serta perusaknya. Muncullah dari ini semua sifat tawâdhu’.
Tawâdhu’ adalah hati yang merendah karena Allâh Azza wa Jalla dan rendah hati serta penuh rahmat kepada hamba-Nya, sehingga tidak memandang dirinya memiliki kelebihan atas seorangpun dan tidak memandang ia memiliki hak atas orang lain.
Bahkan memandang kelebihan orang-orang atas dirinya dan hak-hak mereka atasnya. ini adalah sifat yang hanya Allâh Azza wa Jalla berikan kepada orang yang dicintai, dimuliakan, dan didekatkan kepada-Nya.[8]
Tawâdhu’ memiliki tiga ciri
Pertama, tawadhu dilakukan oleh orang yang memiliki kemampuan, kekuatan, serta peluang untuk berlaku sombong, tetapi ia tidak bersikap sombong karena mengharap keridhaan Allâh.
Kedua, tawadhu tidak dilakukan secara berlebihan. Jika berlebihan, tawâdhu’ bisa berubah menjadi sombong ataupun membanggakan diri.
Ketiga, tawâdhu’ dilakukan pada waktu dan situasi yang tepat. Dalam hal ini, diperbolehkan berlaku sombong di depan orang yang sombong. Sebagaimana sikap berjalan tegap dengan gagah di depan musuh dalam peperangan. Semoga bermanfaat.
Penulis : Wawan Idris
Sumber: almanhaj.or.id